Disusun Oleh:

 Nurul Sa’idah (53030210016)

 

 

 


 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan sosial masyarakat merupakan suatu usaha untuk mengembangkan sikap bersosial dengan cara mendidik, membina, membimbing pada masyarakat supaya bertanggungjawab menjadi pendorong bahkan merubah pada kemajuan. Pendidikan ini sangatlah penting, terutama pada anak-anak yang masih membutuhkan suapan ilmu, dalam hal ilmu alam, ilmu sosial dan juga ilmu keagamaan.[1]


Untuk lebih efektifnya upaya pencapaian tujuan pendidikan sosial kemasyarakatan tersebut, maka diperlukan materimateri khusus (informasi dan pesan-pesan edukatif) yang diambil dari sumber pokok ajaran Islam yaitu AlQur’an, hadits-hadits ataupun sunnah Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya. Dengan adanya pendidikan sosial kemasyarakatan tersebut diharapkan anak didik dapat mengetahui dan memahami, mengamalkan sekaligus menjadikan nilai-nilainya benar-benar melekat dalam diri sehingga menjadi satu kepribadian dalam rangka membina kehidupan sosial yang Islami. Dengan demikian substansi dari pendidikan sosial kemasyarakatan tersebut adalah pendidikan yang mengajarkan kepada anak didik tatacara berinteraksi dengan orang lain (sesama manusia, sesama muslim dan terhadap nonmuslim) yang relevan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.2

B.     Rumusan Masalah

Untuk membatasi masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, perlu kiranya penulis merumuskan masalah:

1.      Bagaimana Pengertian Pendidikan Sosial Masyarakat?

2.      Apa Saja Hadis-Hadis Sosial Masyarakat?

 

C.    Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1.      Untuk Mengetahui Pengertian Pendidikan Sosial Masyarakat.

2.      Untuk Mengetahui Hadis-Hadis Sosial Masyarakat.

    

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Sosial Masyarakat

Pendidikan sosial kemasyarakatan adalah usaha mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan sistematis agar individu dapat membiasakan diri dalam mengembangkan dan mengamalkan sikap-sikap dan perilaku sosial dengan baik dan mulia dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan sebagai warga negara.

Dalam konteks pendidikan Islam, pengkajian terhadap sosial kemasyarakatan perlu dilakukan mengingat adanya keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat sosial itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki peradaban tinggi. Oleh karena itu pendidikan sosial masyarakat dalam pandangan al-Qur’an dan Hadits perlu dilakukan kajian yang mendalam sebagai perwujudan pendidikan Islam yang bermutu.

Berbagai persoalan sosial yang muncul hari ini, dimana masyarakat hidup tanpa mau peduli dengan lingkungan sekitarnya, tidak adanya rasa peduli, empati terhadap sesama, yang pada akhirnya melahirkan individuindividu yang tidak peka dengan persoalan masyarakat. Apabila masyarakat tidak diberi penyadaran akan hal tersebut, maka tentu persoalan ini akan semakin parah. Untuk itu, diperlukan kajian-kajian yang terintegral antar sesama masyarakat dengan komponen masyarakat yang lain. Solusi terbaik adalah dengan kembali berpedoman kepada dua pusaka yang ditinggalkan oleh Rasulullah, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dengan mengkaji dan menganalisa ayat-ayat tentang pendidikan sosial kemasyarakatan akan menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan sosial yang baik.[2]

B. Hadis-Hadis Sosial Masyarakat

 Mencintai Sesama Muslim .1

عن انس رضي ا هلٰلّ عنه عن النبي صلى ا هلٰلّ عليه وسلم قال: لا يؤمن احدكم حتى يحب لا خيه مايحب لنفسه )رواه البخار و مسلم واحمد والنساىٔ 

Artinya: 

“Dari Anas RA. dari Nabi Saw. bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya (sesama muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhori-Muslim dan An-Nasa’i)

Mencintai saudara itu adalah sebagian dari iman. Dalam hadist di atas telah dikatakan bahwa orang yang tidak mencintai saudaranya berarti belum sempurna imannya, tetapi ia tidak menjadi kafir. Cinta di sini maksudnya apa yang menjadi kesenangan orang lain adalah juga kesenangan sendiri (dalam hal kebaikan). Namun selama masih ada rasa iri atau mendengki orang lain yang mendapat kecintaannya, maka itulah sebab tertolaknya keimanan, karena itu adalah sifat peninggalan zaman kafir dahulu.

Mencintai sesama muslim dalam hal yang baik seperti mencintai diri sendiri termasuk bagian dari iman. Para ulama berkata, “ Makna hadits di atas adalah seseorang tidak akan memiliki keimanan yang sempurna, sebab pokok keimanan sudah dapat dicapai oleh seseorang sekalipun tidak memiliki sifat yang disebutkan di dalam hadits tersebut, sedangkan makna mencintai saudaranya adalah pada hal-hal yang kaitannya dengan ketaatan dan yang hukumnya mubah (bukan hal-hal yang haram) keterangan ini bisa dilihat pada versi al-Nasa’i yang terungkap dalam hadits berikut

“(Salah seorang dari kalian tidak beriman ) sampai dia mencintai dirinya  sendiri”.

Kata khoir (kebaikan) mencakup semua ketaatan dan semua hal yang dibolehkan di dunia dan di akhirat, sedangkan hal-hal yang dilarang oleh agama tidak termasuk dalam kategori al-khoir. Adapun cinta adalah menginginkan sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebaikan.

Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan (seseorang tidak akan mencapai hakikat keimanan). Maksudnya adalah kesempurnaan iman, tetapi orang yang tidak melakukan apa yang ada dalam hadits ini, dia tidak  menjadi kafir.[3]

2. Memberi Lebih Baik Daripada Meminta

حَدَّث نا مُوسَى بنُ إسْْاعِيلَ حَدَّث نا وهَيبٌ حَدَّث نا هِشَامٌ عنْ أبيهِ عنْ حَكِيمِ بنِ حِزام رضِيَ ا لَّلُّ عَنهُ عَنْ النبِيٰ صَلى الَّلُّ عليهِ وَسَلمَ قالَ اليدُ العلْيا خَيٌْْ مِنْ اليدِ السُّفْلى وَابدَأْ بِنْ تَ  عولُ وخَيُْْ الصَّدَقةِ عنْ ظهْرِ غِىنً وَمَنْ يسْت عْفِفْ يعفَّهُ الَّلُّ وَمَنْ يسْت غنِ ي غْنهِ الَّلُّ وَعنْ وهَيبٍ قالَ أخْبََنََ هِشَامٌ عنْ أبيهِ

عنْ أبِ هُريْ رةَ رضِيَ الَّلُّ عَنهُ عنْ النبِيٰ صَلى الَّلُّ عليهِ وَسَلمَ بِِذَا  )رواه البخار

Artinya: 

“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Hakim bin Hiram radhiallahu'anhu dari Nabi berkata,: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, maka mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu dan sedekah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka barang siapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan barang siapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya." Dan dari Wuhaib berkata, telah mengabarkan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu dari Nabi seperti ini". (HR. Bukhari)

Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Misalnya, dengan cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat Islam  yang mulia dan memiliki kekuatan.

Dengan demikian, seorang peminta-peminta, yang sebenarnya mampu mencari kasab dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dikategorikan sebaga kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha mencari rezeki sebagaimana diperintahkan syara’. Padahal Allah pasti memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha. 

Dalam hadits dinyatakan dengan tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata lain, derajat orang yang pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta. Maka seyogyanya bagi setiap umat Islam yang memiliki kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja yang penting halal.

Bagi orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan pahala kelak di akherat, Allah jug akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikian, pada hakekatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah swt akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.

Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain, meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah swt. dan Allah akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Allah swt, yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah swt.

Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah swt tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya, sekaligus agar tidak berlaku semena-mena atau melampaui batas.[4]

 

3. Tolong Menolong dengan Nonmuslim

Seperti halnya pendidikan sosial kemasyarakatan yang terjalin antar sesama muslim, Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-harinya juga telah mencontohkan bagaimana berinteraksi dengan nonmuslim. Di antaranya Rasulullah SAW pernah membangun sebuah kerjasama dengan Yahudi Khaibar melalui ikatan perjanjian. Para Yahudi Khaibar diberi kepercayaan oleh Rasulullah SAW untuk mengolah tanah Khaibar dengan ketentuan separuh hasilnya untuk mereka. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam salah satu hadits Nabi SAW:

عَنْ عبد ا هلٰلّ بن عمر قال: أعطى رسول ا هلٰلّ صَلى ا هلٰلّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خيبَ اليهود أن يعملوها ويزرعوها

ولهم شطر ما يخرج منها )رواه البخاري( 

Artinya:

“Dari Abdullah ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya” (HR. al-Bukhari)

    Berdasarkan hadits di atas tampak jelas bahwa tindakan Rasulullah SAW memberikan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi (nonmuslim) yang tinggal di daerah tersebut untuk kemudian mengolahnya dan mengambil separuh hasilnya untuk memenuhi kebutuhan mereka, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW juga pernah membantu umat nonmuslim semasa hidupnya. Kendati demikian perlu digarisbawahi bahwa tentunya tidak setiap nonmuslim yang dapat diperlakukan demikian. Tindakan Rasulullah SAW semacam itu hanya dilakukan terhadap orang-orang kafir dzimmi (orang-orang kafir yang dilindungi dan dijamin keamanannya karena tinggal di wilayah umat Islam). Sementara terhadap orang-orang kafir harby, Rasulullah SAW tidak ada mencontohkan suatu sikap sebagaimana yang pernah ia lakukan terhadap orang-orang kafir dzimmi di Khaibar. 

Di samping itu, Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah pula mengembalakan kambing milik orang-orang musyrik. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Nabi SAW 

  عنْ أبِ هريرةَ قال: ما بعث ا هلٰلّ نبيا إى رعى الغنم ، فقال أصحابه : وأنت؟ فقال: نعم

كنت أرعاها)رواه البخاري

Artinya:

“Dari Abdullah ibn Umar ia berkata: Rasulullah SAW memberikan Khaibar kepada Yahudi agar mereka mengelola dan menanaminya, serta mereka mendapat setengah dari hasilnya” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa seorang muslim dapat pula berinteraksi dengan orang-orang nonmuslim (kafir dzimmi), baik dalam bentuk kerjasama maupun tolong menolong. Hanya saja bentuk tolong menolong dan kerjasama dalam hal selama tidak menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Atau dengan perkataan lain tidak boleh membantu orang kafir (nonmuslim) baik secara sukarela (tanpa memungut bayaran) maupun dengan bayaran, dalam hal yang haram menurut agama.[5] 


BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan sosial kemasyarakatan merupakan upaya untuk membangun kesadaran kolektif, memperkuat nilainilai sosial, dan meningkatkan partisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat. Melalui pendidikan sosial, masyarakat dapat mempromosikan kesejahteraan bersama dan menciptakan lingkungan yang inklusif serta berkelanjutan. Pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam mengimplementasikan program pendidikan sosial juga menjadi poin penting yang ditekankan. 

Berbagai persoalan sosial yang muncul hari ini, dimana masyarakat hidup tanpa mau peduli dengan lingkungan sekitarnya, tidak adanya rasa peduli, empati terhadap sesama, yang pada akhirnya melahirkan individuindividu yang tidak peka dengan persoalan masyarakat. Solusi terbaik adalah dengan kembali berpedoman kepada dua pusaka yang ditinggalkan oleh

Rasulullah, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dengan mengkaji dan menganalisa ayat-ayat tentang pendidikan sosial kemasyarakatan akan menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan sosial yang baik.

B. Saran

Setelah membaca, memahami, dan mempelajari makalah ini di harapkan seluruh pembaca dapat mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari makalah ini. Tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, saya selaku penyusun makalah ini memerlukan kritik dan saran yang membangun guna kebaikan makalah yang saya susun berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan perubahan hidup kita semua kearah yang lebih baik yang di ridhai oleh Allah SWT.

 

 

9

 

DAFTAR PUSTAKA

Asichul In’am. “Peran Pemuda dalam Pendidikan Sosial Kemasyarakatan”. INTIZAM: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, No. 2, Vol. 3, (April 2020).

Nimmasubhani. “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Hadits ( Sebuah Pendekatan Historis)”.  Jurnal al-Furqan, No. 2, Vol. 3, (Juli-Desember 2016).

Ali Akbar. “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits”.  MUSHAF JURNAL: Jurnal Ilmu AL-Qur’an dan Hadis, No. 1, Vol. 2, (1 April 2022).  

Khoirussalim, Umar Sidiq. Menuju Keshalehan Sosial Materi Tentang HadisHadis Sosial Kemasyarakatan”. Ponorogo: CV. Nata Karya, 2021.

 



[1] Asichul In’am, “Peran Pemuda dalam Pendidikan Sosial Kemasyarakatan”, INTIZAM: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, No. 2, Vol. 3, (April 2020), hal. 2. 2 Nimmasubhani, “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Hadits ( Sebuah Pendekatan Historis), Jurnal al-Furqan, No. 2, Vol. 3, (Juli-Desember 2016), hal 1-2.

[2] Ali Akbar, “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Perspektif Al   -Qur’an dan Hadits”, MUSHAF JURNAL: Jurnal Ilmu AL-Qur’an dan Hadis, No. 1, Vol. 2, (1 April 2022), hal. 4-5.  

[3] Khoirussalim, Umar Sidiq,  Menuju Keshalehan Sosial Materi Tentang Hadis-Hadis Sosial Kemasyarakatan”, (Ponorogo: CV. Nata Karya, 2021), hal. 21-22.

[4] 5Ali Akbar, “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Perspektif Al                     -Qur’an dan

Hadits”,.. hal. 12-13.

[5] Nimmasubhani, “Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dalam Hadits ( Sebuah Pendekatan  Historis),… hal. 12-13.